Blog A.S. Laksana
Blog A.S. Laksana
Don Vito dan Michael Corleone
SI TUA berbaring di tempat tidurnya dengan kepala disangga bantal tebal. Ia baru pulang dari rumah sakit setelah penembakan. Tubuhnya masih lemah, wajahnya menghindar dari Fredo yang baru masuk ruangan, matanya memandang sesuatu yang jauh, sesuatu yang lepas dari genggaman dan sedang pergi meninggalkan ia selamanya.
Lalu wajahnya mengabur dan pelan-pelan menghilang dari layar, ditimpa bukit-bukit Sisilia, kampung halamannya, dan Michael ada di sana, menapaki jalanan menanjak dikawal dua lelaki kampung bersenapan. Anak lelaki termuda Corleone itu membunuh dua orang, satu polisi korup dan satu lagi pebisnis narkoba, dan dari sana tragedi bermula: Michael yang lama tak ada lagi dan Michael baru sedang menjadi dan Don Vito Corleone harus melepaskan mimpi masa tuanya.
The Godfather adalah kisah kehancuran.
Don Corleone, kepala keluarga mafia di New York, sudah di usia senja. Sudah tiba waktu baginya untuk surut dan menyerahkan kepemimpinan kepada anaknya, dan ia punya tiga anak lelaki. Situasi ini mengingatkan kita kepada lakon drama Shakespeare King Lear. Sang Raja harus turun tahta karena usia mengharuskannya, dan ia sedang memilih siapa di antara ketiga putrinya yang paling tepat menjadi pengganti.
Sebagaimana tragedi King Lear (dan tragedi-tragedi klasik lainnya) menampilkan protagonis dari keluarga bangsawan, The Godfather menampilkan protagonis yang seperti itu juga, seorang “bangsawan”--dari dunia bawah–yang membuat keputusan fatal dan menyebabkan kehancuran bagi dirinya sendiri dan bagi orang-orang lain. Tetapi berbeda dari King Lear, tragedi keluarga Corleone tidak disebabkan oleh intrik di antara anak-anak.
Santino, Fredo, dan Michael Corleone tidak saling bertikai tentang siapa yang paling mampu menggantikan ayah mereka. Secara alami kepemimpinan keluarga akan turun ke Santino; ia putra tertua. Fredo, adiknya, terlalu lemah dan tidak mampu membuat keputusan. Michael tidak mungkin. Ia memisahkan diri dari keluarga, mendaftar tentara pada Perang Dunia II, dan berniat melanjutkan sekolah. Don Vito kemudian punya rencana tersendiri untuknya.
Pada usia 53 ketika film dimulai, Don Corleone adalah imigran Italia yang berhasil membangun kehidupannya di Amerika—melalui kejahatan. Ia membangun kekuatan, membangun "keluarga", memperkuat pengaruh, dan menegakkan wibawanya di wilayah gelap, dan dengan semua keberhasilan itu, ia memiliki mimpi masa tua untuk memperbaiki reputasi dan memunculkan nama di jalan terang. Ia memiliki "sejumlah hakim dan senator di sakunya," kata koleganya sesama kepala keluarga, dan ia tahu uang dan keangkeran bisa membeli jabatan politik.
Michael, yang tidak dicemari oleh bisnis keluarga, adalah tumpuan harapan baginya untuk melihat bahwa pada saatnya akan ada Senator Corleone atau Gubernur Corleone.
Michael dan dua pengawalnya di Sisilia.
"Mafia dan Amerika punya watak yang sama," kata Copola dalam sebuah wawancara dengan Sight and Sound, 1972, ketika filmnya baru dirilis. "Keduanya merasa bahwa mereka adalah organisasi yang penuh kebajikan. Keduanya, Mafia dan Amerika, memiliki tangan yang berlumuran darah demi melindungi kekuasaan dan kepentingan mereka."
Di tangan Coppola The Godfather menjadi film tentang Amerika, tentang korporasi Amerika, tentang Amerika dalam impian dan Amerika dalam kenyataan. Ia menjadi metafora bagi Amerika.
Visi dan virtuoso Coppola, dan akting para pemain, membuatnya berbeda dari film-film kriminal pada umumnya. Dan Coppola bukan sutradara terkenal ketika mengerjakan film itu. Ia baru 32 tahun, baru menyutradarai empat film berbiaya murah yang tidak mengundang perhatian. Tetapi dia keras kepala.
Wibawanya hanya sedikit naik ketika dia, di tengah menyelesaikan The Godfather, diumumkan sebagai pemenang Oscar untuk penulisan skenario asli melalui Patton. Itu cerita biografis tentang Jenderal George S. Patton dalam Perang Dunia II dan itu skenario yang ditolak oleh 20th Century Fox yang memberinya pekerjaan. Mereka berselisih pendapat di tengah jalan karena skenario Coppola tidak seperti yang mereka harapkan. Coppola membuat adegan-adegan yang terlalu stylish menurut Fox. “Ketika saya selesai menulis, mereka mengatakan, ‘Oke, terima kasih banyak,’ dan mereka menyewa penulis skenario lain.”
Skenario Coppola hidup lagi karena George C. Scott, yang diminta membintangi film tersebut sebagai Patton, hanya bersedia jika skenario Coppola yang digunakan. Coppola membuat adegan pertama sepanjang enam menit berupa pidato panjang Jenderal Patton dengan latar belakang bendera Amerika sebesar layar. Ia mengaku diilhami oleh adegan pembuka The Longest Days, film perang juga, yang menampilkan gambar helm tentara dalam posisi terbalik di atas pasir pantai dan suara orang berpidato.
Adegan serupa diciptakan lagi oleh Coppola untuk membuka The Godfather: Mula-mula kita mendengar musik itu, yang sekarang menjadi ikonik, lalu wajah Amerigo Bonasera muncul sebesar layar dengan latar belakang gelap dan ia ‘berpidato’ tentang Amerika—tentang harapannya terhadap Amerika, tentang kepercayaannya terhadap Amerika dan bagaimana Amerika telah mengkhianatinya, tentang Impian Amerikanya yang dihancurkan oleh kenyataan.
Dan itulah tesis utama The Godfather.
Mario Puzo harus berterima kasih sebesar-besarnya kepada Coppola untuk interpretasi sutradara muda itu terhadap novelnya dan untuk adegan pembukaan tersebut. “Hal-hal yang sastrawi di dalam film itu adalah bagian Coppola,” katanya. Dia tidak berdaya menghadapi pihak studio yang ikut campur dalam penulisan skrip dan pengembangan cerita. Produser Al Ruddy menginginkan film dibuka dengan adegan percintaan Michael Corleone dengan Kay Adams di kamar hotel, dan itu permintaan yang tidak bisa dia tolak karena kontrak penulisan skenario menyebutkan bahwa pihak studio sebagai pemberi pekerjaan berhak menentukan seperti apa jalan ceritanya.
Itu sebabnya Al Ruddy, saat ditunjuk menjadi produser, sedikit ragu menyerahkan penulisan skenario kepada Mario, sebab penulis novel biasanya sangat menyayangi novelnya dan itu akan mempersulit proses penulisan skenario. Dia berterus terang tentang hal itu kepada Mario saat mereka bertemu di sebuah restoran dan sang novelis berjanji, “Jika kalian menunjuk saya, saya berjanji tak akan mengungkit-ungkit buku itu.”
Puzo melempar novelnya ke lantai.
Dan dia terperangkap oleh janjinya sendiri dan oleh kontrak penulisan skenario. Francis Coppola menyelamatkannya dengan ‘pidato’ Bonasera, yang diawali dengan kalimat pendek yang ironis dan memorable: “I believe in America.”
Lalu adegan pesta perkawinan Connie, bungsu dan satu-satunya anak perempuan Corleone, adegan panjang yang brilian untuk memperkenalkan para karakter, memperlihatkan wibawa sang Patriarkh, dan memberi tahu kita kemurahan hatinya, yang berakar dari kultur kampung halaman: Orang Sisilia tidak akan pernah menolak permintaan di hari perkawinan putrinya.
Karakter-karakter dalam film jauh lebih menarik daripada karakter-karakter dalam novel. Vito Corleone dan Luca Brasi adalah dua monster ganas di novel Puzo dan Fredo perusuh brutal.
Luca Brasi memerintahkan seorang bidan untuk membuang bayi yang baru dia tolong kelahirannya ke tungku pediangan. Si bidan melakukannya di bawah ancaman kehilangan nyawa. Brasi sendiri kemudian ditangkap polisi karena membunuh ibu si bayi, pelacur Irlandia yang baru saja melahirkan bayi ayahnya. Filomena, si bidan, meminta perlindungan kepada Vito Corleone. Vito menjamin keselamatan Filomena dan membebaskan Brasi dari hukuman. Ia membuat polisi gagal membuktikan kasus Brasi dan menjadikan monster itu anak buahnya.
Coppola merombak mereka.
Dalam film kita menyaksikan Don Corleone yang lembut dan setia kawan dan mengurus keluarga, dan Marlon Brando memainkannya dengan paras wajah seolah ia sudah bosan dengan bisnis yang dijalaninya.
Luca Brasi, dengan penampilannya yang menyeramkan, memiliki sisi yang membuat kita bisa menyayanginya. Ia anak buah yang setia dan menjunjung tinggi Vito, sang Patriarkh yang simpatk, sampai-sampai ia perlu berlatih bicara sebelum menemui bosnya.
Di dalam film, mereka berdua hanya mendatangi seorang pemimpin band dan memberinya tawaran yang tidak bisa ditolak untuk melepaskan Johnny Fontane, anak angkat Don Vito. Itu pun tidak ada gambarnya di layar. Kita tahu kejadian itu melalui tuturan understatement Michael kepada kekasihnya Kay Adams.
Fredo jauh dari aura kebrutalan. Ia hanya kikuk dan peragu dan pistolnya terlepas dari genggaman ketika para penyerang memberondong ayahnya.
Michael yang cerdas dan analitis berbicara panjang di novel untuk menganalisa bahwa Sollozzo, si pebisnis narkoba, harus dibunuh agar tidak menjadi ancaman permanen bagi ayahnya. Coppola menjadikannya pendiam di film, dan ia memang menjadi lebih baik ketika pendiam.
Francis tahu bahwa protagonis harus mampu membuat penonton bersimpati kepadanya, sekalipun ia karakter jahat.
Bonasera mencium tangan Vito: "Menjadi teman saya, Godfather?"
Hal lain yang terasa kuat dalam film itu adalah nostalgia, kerinduan terhadap masa lalu, terhadap norma lama, dan itu tecermin dalam keputusan Bonasera untuk datang meminta keadilan kepada Vito Corleone.
Film itu dibuat ketika Amerika sedang menghadapi situasi tidak menentu setelah invasinya ke Vietnam dan diputar ketika pemerintahan Presiden Nixon menambahi keputusasaan publik dengan Skandal Watergate.
Vito Corleone dalam film itu hadir sebagai penjaga norma lama yang terasa jauh lebih baik, lebih simpel, dan lebih tertib, ketika situasi hari ini tak memberi harapan dan masa depan tertutupi oleh pemandangan buram hari ini. Nostalgia yang ditawarkan oleh Coppola ini mewakili perasaan orang banyak yang pada umumnya menganggap masa lalu lebih baik.
Vito tidak pernah berkata kasar, dan ia menasihati anak-anaknya dan anak angkatnya bagaimana cara menjadi lelaki sejati.
"Kamu mengurus keluargamu?" tanyanya kepada Johnny Fontane.
"Ya."
"Bagus. Sebab seorang lelaki yang tidak membagi waktunya untuk keluarga tidak akan bisa menjadi lelaki sejati."
Ia menyampaikan itu sekaligus kepada Sonny yang gemar bergendak dan tidak mampu mengendalikan emosinya.
Don menghargai persahabatan. Di atas persahabatan, ia menghendaki kesetiaan dan bahkan kawan dekatnya harus memanggilnya Godfather. Dan, di ujung adegan pembuka dengan Bonasera, ia bicara seperti Tuhan bicara: “Jika engkau datang sebagai temanku, maka mereka yang memusuhimu akan menjadi musuhku juga, dan mereka akan takut kepadamu.”
Itu suara Tuhan dalam Alkitab ketika Dia bicara kepada Musa dalam Eksodus atau kepada Daud dalam Mazmur.
Dan sang Godfather, dengan rasa keadilan yang berpusat pada dirinya sebagai penentu baik-buruk, akan bertindak tegas untuk menjaga dunia selalu tertib. Kepada pelanggar, ia akan “memberi tawaran yang tidak bisa ditolak”.
Dengan karakter-karakter semacam itu dan kerinduan romantis akan masa lalu, ia tiba-tiba menyatu dengan theme song dan ilustrasi musiknya. Bagaimana mungkin sebuah film tentang dunia kejahatan menggunakan lagu tema Speak Softly Love? Bagaimana bisa dunia kekerasan diiringi musik yang sangat romantis?
Don Corleone bersama cucunya di kebun: Adegan kematian.
Vito Corleone meninggal pada umur 68, di kebun, saat bermain-main dengan cucunya, anak Michael. Adegan itu tidak ada dalam novel, tidak ada dalam skenario. Itu adegan temuan Brando, memodel caranya bermain-main dengan anaknya sendiri saat si anak masih kanak-kanak.
Michael menggantikannya sebagai penjaga norma lama. Ia menjadi ayah baptis Michael Rizzi, anak Connie dan Carlo Rizzi.
"Apakah kamu menjauhi setan?" tanya Pastor.
"Saya menjauhinya," kata Michael.
"Dan seluruh perbuatannya?"
"Saya meninggalkan itu semua."
Pada saat yang sama dia memerintahkan orang-orangnya melakukan pembersihan di dalam keluarga. Dia menyingkirkan Tessio, kawan lama ayahnya. Dia menghukum mati Carlo, suami Connie yang penyiksa istri dan penyebab kematian Sonny.
Clemenza, sahabat ayahnya sejak muda selain Tessio, memimpin pemberantasan terhadap keluarga-keluarga mafia lainnya.
Michael menjadi kepala keluarga, mengikuti jalan ayahnya untuk menegakkan norma lama, dan dia melakukannya dengan cara yang membuat keluarganya hancur. Dia tidak memiliki belas kasih yang ditunjukkan oleh Sonny yang temperamental. Sonny membanting kamera wartawan dan memberi ganti rugi. Ia selalu siap melindungi Connie, yang berakhir dengan kematiannya sendiri.
Michael juga tidak memiliki keraguan Fredo. Ia bertindak dingin dan klinis dalam operasi-operasinya dan tidak pernah meragukan dirinya sendiri.
Dan pada adegan penutup dia membohongi istrinya, sesuatu yang dibenci oleh Don Corleone, sebab membohongi istri tidak akan membuat seorang lelaki menjadi lelaki sejati.
Melalui adegan penutup itu Coppola mengembalikan kita ke norma baru, ke kehidupan hari ini. Michael tidak mungkin mempertahankan norma lama. Istri Sisilianya, Apollonia, perempuan yang tidak akan pernah menanyakan urusan suami sebagaimana Mama Corleone, sudah mati. Kay Adams mewakili norma hari ini dan ia bertanya kepada suaminya dan Michael membohonginya. [*]