Blog A.S. Laksana
Blog A.S. Laksana
James Caan, Marlon Brando, Francis Coppola, Al Pacino, John Cazale
Maret tahun ini The Godfather berusia 50 tahun; ia diputar pertama kali pada 14 Maret 1972. Francis Ford Coppola, 32 tahun saat itu, bertahan mati-matian dari dominasi studio, memenangkan visinya, dan mengangkat novel Mario Puzo—yang menurut Coppola adalah cerita murahan—ke tingkat mitologis.
*
THE GODFATHER adalah ledakan besar—sebuah Big Bang—yang digerakkan oleh daya kreatif orang-orang yang sedang bangkrut: Mario Puzo, Francis Ford Coppola, Marlon Brando, dan para pemain utama yang dibenci oleh petinggi-petinggi Paramount, dengan Coppola sebagai pusat ledakan, Brando menghidupkan nyala terang di layar, dan Puzo pemicu.
Pada usia 45, Mario Francis Puzo (lahir 15 Oktober 1920) adalah penulis yang bernasib buram ketika mulai mengerjakan The Godfather. Ia hidup bersama istri dan kelima anaknya dan sehari-hari menulis di ruang bawah tanah rumahnya yang sama buram dengan nasibnya sebagai penulis. Anak-anaknya bermain biliar di ruangan itu juga dan, suatu saat, ketika mereka terlalu gaduh, Mario mengatakan: “Coba kalian tenang. Aku sedang mengerjakan buku bestseller.”
Itu ucapan yang mencengangkan bagi Tony Puzo dan keempat adiknya, tidak saja karena disampaikan agak keras, tetapi juga karena terdengar seperti igauan oleh penulis yang sedang putus asa. Dua novel pertama Mario, Dark Arena (1955) dan The Fortunate Pilgrim (1965), hanya menghasilkan 6.500 dolar dan ia sedang terbelit utang akibat kegemarannya berjudi.
Editornya mengatakan bahwa The Fortunate Pilgrim mungkin akan lebih baik jika unsur mafianya diperbanyak dan Puzo dengan enggan menyetujui gagasan untuk buku berikutnya tentang mafia. Hasrat terbesarnya adalah menulis sastra. Ia pembaca buku yang lahap sejak kecil; ibunya memerintahkan ia di rumah saja agar terhindar dari pergaulan dengan anak-anak berandal di Hell’s Kitchen, tempat kelahirannya, sebuah benteng kemiskinan di New York, tempat bermukim keluarga-keluarga melarat dan kaum buruh yang kebanyakan keturunan Irlandia. Jika keluar rumah, ia hanya boleh ke perpustakaan. Dan ibunya tidak bisa ditolak, terutama setelah ayahnya, seorang buruh rel kereta api, meninggalkan rumah begitu saja—belakangan didiagnosa mengidap penyakit mental dan dirawat di rumah sakit jiwa. Puzo 12 tahun saat ayahnya menghilang dan sejak itu Maria harus merawat sendiri ketujuh anaknya.
“Ibu saya cantik dan kejam,” kata Puzo. “Dia Don Corleone bagi saya. Setiap kali sang Godfather bicara, dalam benak saya selalu terbayang ibu saya yang sedang bicara.”
Menuruti saran editornya untuk menulis tentang mafia, Puzo membuat outline sepuluh halaman untuk novel yang ia beri judul The Godfather dan Ballantine Books, penerbit The Fortunate Pilgrim, menolaknya.
Penerbit G.P. Putnam’s Sons yang akhirnya bersedia menerbitkan The Godfather dan memberinya uang muka 5 ribu dolar untuk segera mengerjakan penulisan. Tetapi Puzo tidak benar-benar ingin menulis novel itu; ia melakukan riset dan menulis tanpa gairah dan baru menyelesaikan penulisan tiga tahun kemudian. Juli 1968 ia merampungkan naskah karena ingin mendapatkan sisa pembayaran untuk pergi ke Eropa.
Untuk mendapatkan uang tambahan, ia menawarkan novelnya ke Paramount Pictures ketika sudah mengetik 100 halaman dan studio film tersebut menawarkan 12.500 dolar untuk membeli hak memfilmkan The Godfather, dengan opsi 50 ribu dolar tambahan jika filmnya sukses. Agennya menyarankan ditolak saja, tetapi 12.500 dolar bagi penulis yang sedang bangkrut adalah jaminan rasa aman. Ia menerimanya.
Kondisi keuangan Puzo betul-betul menyedihkan dan ia sudah berniat menjual rumahnya, tanpa sepengetahuan istrinya, saat kembali dari Eropa. Tetapi itu tidak pernah terjadi.
Editornya di G.P. Putnam’s Sons mengajak Puzo bertemu sepulang ia dari Eropa untuk menyampaikan kabar yang membuatnya mematung: Hak penerbitan paperback novelnya dibeli 410 ribu dolar. Itu pembelian yang memecahkan rekor. Puzo segera menelepon ibunya tentang 410 ribu dolar itu dan ibunya mengira ia menyebut 40 ribu dolar. Sampai tiga kali ia menyebutkan angka itu untuk memastikan ibunya tidak salah dengar dan Maria kemudian berpesan, “Jangan cerita ke siapa-siapa.”
The Godfather terbit pada 1969 dan menjadi bestseller tercepat dalam sejarah penjualan buku laris. Pada 1970, novel tersebut sudah terjual lima juta eksemplar dan menjadi tujuh juta eksemplar pada Januari 1971.
Mario Puzo dan Francis Coppola
Meskipun novelnya menjadi bestseller selama 67 pekan, semua sutradara yang didekati oleh Paramount Pictures menolak untuk menggarap The Godfather, di antaranya adalah Elia Kazan (On the Waterfront), Arthur Penn (Bonnie and Clyde), dan sutradara Yunani Costa-Gavras (filmnya Z memenangi Oscar sebagai Film Berbahasa Asing terbaik).
Coppola adalah pilihan terakhir Paramount, karena darah Italianya dan karena studio berpikir dia bisa dibayar murah, dan Coppola menolak. Dia tidak menyukai novel Mario Puzo. Itu novel murahan baginya dan dia tidak ingin menyutradarai film dari novel murahan.
Coppola penyuka sastra dan dia pembaca serius, sesuatu yang dibentuk oleh keadaan. Pada umur sembilan, dia terjangkit polio dan harus menjalani lebih banyak waktunya sendirian, sebab orang-orang dilarang menemuinya demi mencegah penularan. Selain membaca, ia juga menjadi akrab dengan kamera 16 mm. Maka, di masa-masa kesendiriannya yang panjang, ia hanya mengisi waktunya dengan dua hal itu: buku dan kamera.
Sembuh dari polio, ia telanjur menjadi penyendiri dan ingin menjadi seperti Sergei Eisenstein. Ia menonton film Ten Days that Shook the World ketika SMA dan terpukau pada garapan sutradara teater dan film Rusia itu. Dia berpikir harus menguasai pengetahuan yang dimiliki oleh Eisenstein.
Karena itulah dia memilih jurusan Teater dan Film di Hofstra University dan melanjutkannya ke sekolah film di University of California, Los Angeles (UCLA).
Puzo, Coppola, Robert Evans, Al Ruddy: Konferensi pers mengumumkan penunjukan Coppola sebagai sutradara The Godfather
Coppola akhirnya menerima tawaran Paramount antara lain berkat dorongan George Lucas, kawan dekat dan orang yang mengaguminya.
"Saya mengagumi Coppola karena dia mahasiswa film pertama yang mendobrak industri perfilman,” kata Lucas. Dia tiga tahun di bawah Coppola dan masih mahasiswa sekolah film UCLA ketika mereka pertama kali bertemu. “Pada waktu itu tidak ada mahasiswa perfilman yang bisa membuat film. Kita harus kenal orang di industri itu agar bisa masuk. Sehebat apa pun pengetahuannya, keterampilannya, bakatnya, tidak mungkin seorang mahasiswa bisa menerobos industri film tanpa ada kenalan di sana. Coppola melakukannya. Dia yang pertama."
Francis membuat film ketika ia masih berstatus mahasiswa di UCLA dan mengajukan film You're a Big Boy Now, yang ia biayai sendiri dari penghasilannya menulis skenario, sebagai tesis masternya. Itu baru pertama kali terjadi dan pihak kampus meluluskan Coppola dengan film itu sebagai tesis.
Dengan dorongan untuk menolak tunduk terhadap kemauan studio-studio besar Hollywood dan mempertahankan independensi, Coppola bersama George Lucas dan dua sutradara lainnya Ron Colby dan Mona Skogar membuka studio sendiri, American Zoetrope, di sebuah gudang di San Francisco, California. Ia bertekad menjadikan studio itu perusahaan yang mampu memberi arah baru dalam perfilman. Ia ingin membangun studio deviant yang menawarkan konsep kreatif dan pendekatan yang tidak konvensional dalam pembuatan film.
Dua film pertama yang diproduksi oleh Zoetrope jeblok di pasaran dan ia menanggung utang 300 ribu dolar kepada Warner Brothers dan Seven Arts. Menurut perjanjingan, jika film-film itu gagal di pasaran, Coppola harus bertanggung jawab mengembalikan biaya produksi.
Karena itulah Lucas menyarankan ia menerima tawaran Paramount untuk menyutradarai The Godfather, dan Coppola, meski ingin tetap independen, akhirnya menerima tawaran itu sebab situasi keuangannya sedang sulit.
Pada 29 September 1970, empat orang—Mario Puzo, Francis Coppola, Robert Evans (kepala studio), dan Al Ruddy (produser)—membuat konferensi pers di Los Angeles untuk mengumumkan Coppola sebagai sutradara The Godfather. Dan perang besar segera berkobar tak lama setelah itu.
Coppola dan Paramount berseberangan hampir dalam semua hal.
Perang pertama mereka adalah tentang siapa yang akan memerankan Don Corleone. Coppola sudah mencatat nama-nama aktor yang ia bayangkan akan memainkan karakter-kerakter dalam filmnya: James Caan sebagai Santino Corleone, Robert Duvall sebagai Tom Hagen, Al Pacino sebagai Michael.
Don Corleone? Ini sumber masalah.
Ia dan Mario Puzo sama-sama melihat Marlon Brando sebagai orang yang paling tepat memerankan Don Vito Corleone, tetapi Marlon Brando tidak ingin bermain film lagi dan Paramount menampik keras nama itu. Brando adalah bintang yang sudah pudar dan perangainya buruk dan Paramount tidak ingin membuat film berbiaya mahal. Untuk alasan terakhir, Paramount menunjuk Al Ruddy sebagai produser; ia berpengalaman menekan biaya produksi dan menghasilkan film-film dengan biaya murah.
Beberapa nama dimunculkan sebagai kandidat Don Corleone: Charles Bronson, Carlo Ponti, dan peraih Oscar Ernest Borgnine. Burt Lancaster menginginkan peran itu, dan Danny Thomas, bintang sitkom TV yang sukses dan cukup kaya, dikabarkan siap membeli saham Paramount, yang sedang kepayahan secara finansial, demi mendapatkan peran Vito Corleone.
Mark Seal, wartawan dan penulis buku Leave the Gun, Take the Cannoli: The Epic Story of the Making of The Godfather (2021), menggambarkan secara menarik dalam artikelnya di Vanity Vair , 7 Oktober 2021, bagaimana Coppola memenangi pertempuran untuk mendapatkan Brando. Mario Puzo, tulis Mark, panik dengan kemungkinan Thomas mendapatkan peran Vito Corleone dan ia menulis surat, dalam tulisan tangan, kepada Brando, satu-satunya orang yang ia bayangkan sebagai Vito Corleone saat ia menulis novelnya.
“Dear Mr Brando, saya menulis sebuah buku berjudul THE GODFATHER yang sukses di pasaran dan saya pikir anda satu-satunya aktor yang bisa memainkan Godfather dengan penuh kekuatan dan ironi (buku itu adalah komentar ironis tentang masyarakat Amerika) pada bagian-bagian yang menghendaki itu.”
Brando, aktor yang dianggap terbesar dalam generasinya, saat itu sedang kecanduan Valium, dalam proses perceraian yang ketiga, terlilit utang, dan memutuskan tidak akan bermain film lagi. Ia tinggal di rumahnya yang tampak muram di Mulholland Drive, Los Angeles, didampingi hanya oleh Alice Marchak, sekretaris dan asisten pribadinya yang cekatan. Alice membaca novel yang dikirimkan oleh Puzo bersama surat dan meyakini bahwa The Godfather memang diciptakan untuk Brando. Dan itu hanya bisa terjadi jika dia mampu membuat bosnya mau bermain film lagi.
Alice melakukannya dan dia melakukannya dengan cerdik. Dia serang titik lemah Brando, ialah kecemburuan profesionalnya terhadap aktor-aktor Hollywood yang semuanya dia pandang rendah.
Sambil lalu Alice menyampaikan siapa saja aktor yang disebut-sebut akan memainkan Vito Corleone dan itu sempat membuat Brando jengkel, tetapi setelah beberapa hari seperti itu akhirnya Brando tak peduli. Alice sudah hampir putus asa ketika suatu hari dia membaca bahwa Laurence Olivier kemungkinan akan mendapatkan peran itu dan siap menjalani tes layar. Dia menyampaikan kabar itu dan Brando mencibir: “Laurence Olivier? Dia tidak bisa menjadi don Mafia.”
Marlon tertarik.
Alice menyadari itu; dia sudah bekerja untuk Brando sejak akhir 1950-an dan hapal perangainya dan dia tahu nama Lauren Olivier membuat bosnya terusik.
Marlon Brando, Laurence Olivier: "Laurence Olivier tidak akan bisa menjadi don Mafia!"
Laurence Olivier adalah satu nama selain Brando yang ada dalam benak Coppola. Marlon 47 tahun, mungkin terlalu muda untuk menjadi Vito Corleone. Laurence 64 tahun, pas sebagai Godfather, tetapi kepribadian Inggrisnya terlalu kuat dan mungkin sulit menjadikannya bos Mafia Italia-Amerika.
“Pilihan saya hanya Marlon dan Laurence,” kata Coppola. “Karakter Godfather memerlukan pesona kebintangan tingkat tinggi, sebuah magnetisme, sebuah karisma tertentu; dia sekadar berjalan ke satu ruangan saja, itu sudah harus menjadi peristiwa.”
Tapi urusan masih akan rumit bagi Coppola meskipun, secara terpisah, Marlon sudah menunjukkan gestur tertarik. Mereka belum saling berhubungan.
Halangan terbesar bagi Coppola untuk mendapatkan Brando adalah Stanley Jaffe. Presiden Paramount itu mengundang Coppola ke studio dan sang sutradara ambruk seketika dan kejang-kejang di lantai begitu mendengar instruksi Jaffe: “Selama saya menjadi presiden studio, Marlon Brando tidak akan ada dalam film ini, dan saya tidak akan mengizinkan kamu mendiskusikannya lagi.”
Coppola mengidap epilepsi ketika remaja. Tetapi tentang yang terjadi di hadapan Jaffe, dia mengaku itu hanya sandiwara murahan; dia berpura-pura mendapat serangan, demi memberi Jaffe pukulan balasan yang lebih mengejutkan. “Lagipula saya tahu lantainya berkarpet,” katanya, “jadi tidak sakit.”
Bangkit dari kejang pura-puranya, Coppola menyampaikan tanggapan seriusnya:
“Saya menyerah.”
Setelah diskusi singkat, Jaffe setuju mempertimbangkan Brando—dengan tiga syarat. Pertama, Brando harus memberikan jaminan 1 juta dolar, untuk memastikan bahwa temperamen dan kebiasaannya terlambat tidak akan memperpanjang waktu produksi. Kedua, dia harus melupakan bayaran tingginya dan mau menerima bayaran tak seberapa. Ketiga, dia harus menjalani screen test untuk peran tersebut.
Coppola mengaku takut setengah mati kepada Brando dan tidak akan pernah berani mengatakan kepada orang yang diinginkannya menjadi Vito Corleone bahwa dia harus menjalani uji layar. “Setelah berpikir keras, akhirnya saya menelepon Brando dan mengatakan, ‘Mr. Brando, tidakkah menurut anda bagus jika kita bermain-main sedikit, dan melakukan sedikit improvisasi untuk peran ini, dan melihat seperti apa jadinya nanti?' Saya tidak mengatakan itu adalah tes layar. Saya bilang itu seperti eksperimen kecil dengan kamera video.”
Brando langsung setuju. Pada waktu itu dia telah membaca The Godfather, atau meminta Alice Marchak membacakannya, sebab dia mengidap disleksia yang membuatnya kesulitan membaca. “Dia pikir itu bagian yang sedap,” kenang Coppola. “Dia menggunakan kata itu, sedap.”
Pada saat Coppola membawa kru ke rumah Brando untuk ‘bermain-main’, mereka menjumpai seorang lelaki yang sama sekali berbeda dari penampilannya di film. Brando mengenakan kimono Jepang, bersuara lembut, dan pendiam. Ia menghitamkan rambut pirangnya saat itu juga dengan semir sepatu dan menonjolkan rahang bawahnya. Itu mengejutkan. Mereka datang ke rumah Brando dan yang mereka jumpai adalah Don Vito Corleone.
Sebelumnya, Brando telah mengamati setumpuk foto para kepala Mafia, yang dikirimkan kepadanya oleh Coppola, dan dari situ dia tahu bahwa penampilan mereka sama seperti orang-orang biasa yang dia jumpai di jalan-jalan. Dari situ dia mendapat ide.
“Apakah saya perlu berkumis?” tanyanya, dan Coppola menjawab, “Ya, paman saya berkumis.” Dan Marlon mengoleskan semir sepatunya untuk membuat kumis, lalu menyumpalkan kapas ke kedua pipinya.
“Saya ingin membuat penampilannya seperti bulldog,” katanya.
Ketika Coppola memerintahkan krunya mulai merekam, Brando meminta agar perekam suara tidak dioperasikan, sebab dia belum menentukan pola bicara sang Don.
Selebihnya, kita sudah tahu, The Godfather menjadikan cahaya kebintangan Brando kembali terang dan memberinya piala Oscar, yang kedua setelah On the Waterfront, sebagai pemeran utama pria.
Al Pacino: Para petinggi Paramount benci melihatnya.
Namun mendapatkan Brando hanya salah satu pertempuran yang harus dijalani oleh Coppola. Sebetulnya untuk mendapatkan para pemeran penting lainnya—Sonny, Michael, Tom Hagen, dan Kay Adams—dia harus melakukan pertempuran yang lebih melelahkan. Proses yang relatif mudah hanya terjadi pada Fredo Corleone. Tidak ada yang lebih tepat untuk mengisi peran itu kecuali John Cazale, aktor panggung yang diakui sangat cerdas, aktor film yang “sangat cemerlang tetapi tidak pernah mendapatkan pernghargaan yang layak,” kata Al Pacino bertahun-tahun kemudian, orang yang dalam dua tahun terakhir hidupnya menjadi kekasih Meryl Streep, yang waktu itu sedang merintis karier sebagai aktris. John Cazale meninggal pada 1978 di usia 43; dia hanya sempat bermain dalam lima film layar lebar dan The Godfather adalah film layar lebar pertamanya.
Tiga bulan sebelum syuting dimulai, Coppola diam-diam melakukan screen test terhadap James Caan, Robert Duvall, Al Pacino, dan Diane Keaton dan hasilnya ia serahkan kepada Paramount dan para petinggi studio membenci keempatnya.
Robert Evans, salah satu petinggi studio menginginkan Robert Redford sebagai Michael Corleone, atau Dustin Hoffman, yang juga tertarik pada peran itu, tetapi Coppola bersikeras Al Pacino, pemuda 31 tahun, putus sekolah, menjalani hidup serabutan sebagai aktor panggung, pekerja bangunan, dan segala macam pekerjaan yang bisa memberinya uang. Al Pacino pada waktu itu baru bermain di satu film dan belum beredar.
“Si Katai tidak mungkin untuk film ini,” kata Evans.
“Siapa maksudmu si Katai?” tanya Coppola.
“Al Pacino.”
“Dia tepat menjadi Michael. Dia cocok berjalan di bukit-bukit Sisilia dikawal dua orang.”
“Lupakan Al Pacino, lupakan Bobby Duvall, lupakan Diane.”
Yang tidak dia sebut hanya James Caan, aktor muda yang sudah bermain di beberapa film. Coppola dan Caan saling kenal ketika mereka sama-sama mahasiswa teater di Hofstra University. Caan, setahun lebih muda dibandingkan Coppola, bertubuh kekar—dia kapten tim bisbol dan bintang basket di SMA-nya—dan Coppola yakin temannya ini cocok menjadi Sonny yang temperamental.
Mario Puzo sedang menyelesaikan penulisan skenario dan belum bertemu dengan Coppola, tetapi dia mendukung casting Pacino. Pada 21 Januari 1971 dia menulis surat kepada Coppola: “Al Pacino adalah ‘Michael yang sempurna’. Saya belum pernah seyakin ini dalam hidup saya.”
Setelah menolak hasil screen test Coppola, pihak studio mengumumkan casting terbuka untuk peran-peran penting The Godfather. Mereka menguji Martin Sheen sebagai Michael, Dean Stockwell sebagai Michael, Ryan O'Neal sebagai Michael. Dalam daftar casting mereka ada empat puluh calon Michael, seratus Kay, empat puluh Sonny, dua puluh lima Fredo.
Puzo hadir ketika Al Pacino sedang dites oleh Paramount dan setelah screen test selesai dia mendatangi Coppola untuk meminta kembali suratnya.
“Surat apa?” tanya Coppola.
“Yang kuberikan kepadamu, yang mengatakan aku juga menginginkan Pacino.”
Dalam bukunya The Godfather Papers, yang menceritakan berbagai ketegangan di balik layar saat pembuatan The Godfather, Mario Puzo menulis: “Bajingan itu bahkan tidak bisa menghapal dialog. Dia ngoceh serampangan dan tidak paham karakternya. Pacino sangat mengerikan. Jimmy Caan sepuluh kali lebih baik ketimbang dia.”
Dua pekan sebelum syuting, setelah dua setengah bulan pertarungan sengit yang membuat Coppola frustrasi dan beberapa kali berpikir untuk mundur atau meyakini akan dipecat oleh Paramount, pertempuran berakhir dan Coppola kembali menang. James Caan adalah Sonny, Al Pacino Michael, Robert Duvall Tom Hagen, dan Diane Keaton Kay Adams—persis yang diinginkan Coppola. Masalahnya, Al Pacino pada waktu itu sudah telanjur menerima tawaran MGM untuk ikut bermain dalam film komedi Mafia The Gang That Couldn’t Shoot Straight.
Robert Evans kemudian membuat tawaran yang tidak bisa ditolak kepada MGM. Ia menggunakan koneksi gangsternya untuk mengambil Al Pacino. Dan MGM membalas dengan ‘mengambil’ Robert De Niro untuk menggantikan Al Pacino. De Niro sebelumnya mengikuti screen test, dan gagal, untuk mendapatkan peran Sonny Corleone.
De Niro baru akan muncul pada The Godfather II (1974), sebagai Vito Corleone muda, dan bermain cemerlang dengan kesanggupannya melepaskan diri dari bayang-bayang kuat Don Corleone yang diperankan oleh Brando, dan meraih piala Oscar pertamanya sebagai pemeran pembantu pria terbaik.
Joe Colombo, salah satu bos Mafia New York
Pertempuran lainnya adalah The Godfather vs The Godfather. Francis Coppola berkeras bahwa pengambilan gambar harus dilakukan di New York dan ia tidak bisa dibengkokkan. “Atmosfernya harus benar-benar New York,” kata Coppola. “Dan karena saya membuat film tentang periode tertentu—New York 1940-an—tempat lain akan lebih sulit untuk menghadirkan cita rasa New York tahun itu.”
Dan New York adalah rumah besar Mafia. Di sana ada Lima Keluarga, dengan Joe Colombo sebagai pengganggu utama.
Pada 1970, Joe Colombo, salah satu kepala keluarga dari Lima Keluarga Mafia di New York City, dianggap oleh banyak orang sebagai salah satu yang paling berkuasa di New York, bersama Walikota John Lindsay dan Gubernur Nelson Rockefeller.
Ia membentuk organisasi bernama Liga Hak Sipil Amerika Italia (Italian American Civil Rights League) dan melakukan aksi yang selama ini tidak pernah dilakukan oleh bos mafia: Ia keluar dari selubungnya dan tampil di tengah massa, berdiri paling depan, berpidato, dan menggerakkan protes orang-orang Amerika-Italia. Prioritas utamanya adalah menyingkirkan ‘Mafia’ dari bahasa Inggris. Joe Colombo berpendapat bahwa kata itu telah berubah menjadi kampanye kotor terhadap orang-orang Amerika-Italia.
Colombo memimpin aksi turun ke jalan puluhan ribu orang Amerika-Italia, menyelenggarakan konser amal yang dipimpin oleh Frank Sinatra, dan menyiapkan dana 600 ribu dolar untuk memerangi siapa saja yang menggunakan kata Mafia.
Untuk memperkuat tekanannya, dia mengorganisir rapat umum di bawah patung Christopher Columbus di Fifty-Ninth Street. Lima puluh ribu orang memadati Broadway untuk memblok dua arah dan massa membentang jauh hingga ke Central Park.
Dengan keberhasilannya mengerahkan massa, bos Mafia itu tiba-tiba berubah menjadi pemimpin terhormat warga Amerika-Italia yang merasa diperlakukan tidak adil.
New York Times Magazine mencatat pencapaian menakjubkan Colombo, “Sejak ia mendirikan Liga, Colombo telah berhasil menarik 50.000 orang ke rapat umum di Columbus Circle; memaksa Departemen Kehakiman untuk memerintahkan FBI agar berhenti menggunakan istilah 'Mafia' dan 'Cosa Nostra' dalam siaran persnya (dan diikuti kemudian oleh Gubernur New York, Connecticut, Alaska, Texas, dan South Dakota); mendatangkan Frank Sinatra ke New York untuk membantunya mengumpulkan uang dalam sebuah konser amal, dan dinobatkan sebagai Man of the Year oleh The Tri-Boro Post, mingguan lokal New York. Setelah empat puluh delapan tahun bersembunyi, Colombo muncul sebagai figur publik yang tangguh. Dia berpose dalam foto sedang mencium anak-anak, memberi tanda tangan, muncul di acara Dick Cavett dan Walter Cronkite, dan secara umum merasa dirinya lebih sebagai kandidat politik daripada bos Mafia.”
Dengan keberhasilannya itu, kini sang Godfather sedang membidik sasaran teratasnya: The Godfather.
Teror dilancarkan terhadap orang-orang yang terlibat pembuatan film itu. Segala cara digunakan: surat datang dari siapa saja, ancaman pembunuhan melalui telepon, dan desing peluru. Mobil Al Ruddy, sang produser, dipecahkan kaca-kacanya dengan tembakan senapan.
Francis Coppola menerima surat tulisan tangan:
Mr. Coppolla! [sic]
Jadi sekarang anda telah berhasil menyeret semua orang Amerika-Italia ke dalam lumpur.
Untuk menebus kesalahan, saya pikir anda harus membuat cerita tentang orang-orang Italia yang benar-benar hebat. Sebagai permulaan—Paus Yohanes XXIII, sang paus ekumenis, lalu mendiang Vince Lombardi yang agung, Hakim Federal yang agung John J. Sirica, Paus Paulus VI, pahlawan perang Kapten Don Gentile, Sersan. Michael Smerillo, Rep. Peter Rodino yang hebat, dll.
John Smerillo
Komandan, Legiun Amerika
Pos 388
Kesulitan memuncak ketika tempat-tempat yang sudah dipilih sebagai lokasi syuting, rumah makan, kamar mayat, rumah sakit, rumah yang direncanakan sebagai rumah Don Corleone, dan sebagainya tiba-tiba menyatakan tidak bersedia digunakan.
Satu-satunya jalan adalah menemui Joe Colombo dan membuat kesepakatan dengannya. Dengan bantuan seorang agen dan pencari bakat Hollywood, yang mendatangi Colombo dengan perasaan ngeri, Al Ruddy dan Colombo akhirnya bertemu.
“Dengar, Joe,” kata Ruddy, “kami tidak membuat film ini untuk merendahkan orang-orang Amerika-Italia. Ada polisi Irlandia yang korup. Ada produser Yahudi yang korup. Sama sekali tidak ada tujuan untuk menyasar orang Italia. Silakan datang besok ke kantorku. Kamu boleh periksa naskahnya.”
Ruddy, dengan suara serak dan keterusterangannya, membuat Colombo dan orang-orang melunak dan segera mempercayainya. Besoknya, ketika mereka datang, Ruddy menyodorkan skenario setebal 155 halaman kepada Colombo. Bos Mafia itu, dengan kacamata bulat Benjamin Franklin, membacanya dan mematung beberapa detik pada halaman pertama.
“Apa maksudnya FADE IN?” tanyanya.
Pada saat itu juga Ruddy yakin bahwa Colombo tidak akan pernah membuka halaman kedua.
“Kacamata sialan ini membuatku tidak bisa membaca,” kata Colombo. Ia melemparkan naskah ke Butter DeCicco. “Kamu bacalah!” Butter melemparkannya ke Vitale, yang menerima naskah itu seperti memegang bom waktu.
Colombo merebut lagi naskah itu dan membantingnya di meja. “Apakah kita bisa mempercayai orang ini?” tanyanya kepada anak-anak buahnya dan mereka menjawab serempak: “Ya!”
“Jadi, untuk apa kita repot-repot membaca naskah ini?”
Ia kemudian hanya menekankan tuntutan utamanya bahwa semua kata “Mafia” harus dihapus, dan itu urusan mudah. Di naskah itu kata “Mafia” hanya muncul satu kali, yaitu dalam adegan Tom Hagen menemui Jack Woltz di studionya di Hollywood untuk membereskan urusan Johnny Fontane, dan produser film itu membentak Tom: “Johnny Fontane tidak akan pernah bermain di film itu. Aku tidak peduli berapa banyak pun Mafia cecunguk bajingan yang akan keluar dari sarangnya.”
Kesepakatan tercapai, dan dua hari kemudian Colombo menghubungi Ruddy untuk membuat konferensi pers. “Untuk menyampaikan kepada orang-orang bahwa kami sekarang di belakang film ini,” katanya.
Media bereaksi negatif terhadap konferensi pers ini. New York Times menyebutnya sebagai sensor-diri yang munafik. Village Voice menulis: “Jadi, jika anda membuat film tentang Mafia, anda harus mohon izin ke mereka.” Seorang senator negara bagian dari Staten Island menulis surat terbuka kepada Ruddy, menuduhnya telah melakukan penghinaan luar biasa kepada jutaan orang Amerika-Italia yang loyal dan menghargai kebebasan berekspresi.
Ruddy dipecat.
Coppola memprotes keputusan itu. “Ruddy satu-satunya orang yang membuat produksi film ini bisa jalan.”
Ruddy ditarik lagi.
Pembuatan film memakan waktu 77 hari, enam hari lebih cepat dari jadwal semula 83 hari. Menurut Coppola bahkan hanya 62 hari.
Biaya produksi membengkak tiga kali lipat menjadi 6,2 juta dolar, tetapi itu sangat kecil dibandingkan penghasilan yang diperolehnya. Para pemain dibayar “tak seberapa”. James Caan, Al Pacino, dan Diane Keaton masing-masing 35 ribu dolar. Robert Duvall 36 ribu. Marlon Brando 250 ribu. Coppola 175 ribu. Yang terbesar (tidak disebutkan jumlahnya) adalah Richard Castellano yang bermain sebagai Clemenza.
Setiap hari, selama 26 hari pertama, satu juta dolar mengalir dari penjualan tiket di dalam negeri.
Mafia senang dengan film itu dan ingin berlaku seperti Don Corleone. Kepada New York Times, bertahun-tahun kemudian, Salvatore Gravano dari keluarga Gambino mengatakan: “Film itu membuat kehidupan kami tampak terhormat. Saya senang menggunakan kalimat ‘Saya akan memberi anda tawaran yang tidak bisa ditolak,’ dan saya juga mengatakan kepada orang-orang, sebagaimana The Godfather, ‘Jika kamu punya musuh, musuhmu akan menjadi musuhku juga.’”
Marlon Brando mendapatkan tambahan 2 juta dolar dari pembagian 1% atas total pendapatan kotor film tersebut. Al Ruddy mendapatkan pembagian 7,5 persen. Coppola 6 persen, yang memberinya modal besar untuk menegakkan independensinya sebagai pembuat film, sampai ia memerlukan uang lagi dan mengerjakan The Godfather II.
Mario Puzo, dengan penghasilan dari novelnya dan 2,5 persen dari pendapatan kotor The Godfather, lepas dari kutukan hidup yang selama ini membayanginya. “Setiap keluarga Italia memiliki ‘chooch,’ keledai, seorang idiot yang diyakini oleh semua orang tidak akan mampu mendapatkan uang,” tulis Puzo dalam memoarnya.
Ia bukan keledai lagi. Ia penyair di mata ibunya. Dan predikat itu bahkan sudah didapatkannya ketika ia memberi tahu ibunya bahwa novelnya dibeli 410 ribu dolar. “Poet!” kata ibunya dari ujung lain telepon.[*]