Cerpen
Cerpen
Ognjen Spahić, Montenegro
MEREKA sedang minum jus. Menonton televisi. Pesawat tua itu hanya bisa menjangkau dua saluran. Perempuan itu mungkin akan melahirkan pada akhir pekan. Lelakinya seorang akuntan di pabrik kaus kaki dan pakaian dalam.
"Mungkin aku akan ke rumah Vladimir," kata lelaki itu.
Istrinya sedang membolak-balik koran dan tidak mengangkat kepalanya.
"Mungkin?" kata istrinya semenit kemudian.
Sudah tiga hari hujan tak kunjung reda. Lelaki itu pernah membaca bahwa dari seluruh proses melahirkan yang sangat menyakitkan, tujuh belas persen lebih terjadi pada cuaca lembab. Itu tidak terbukti secara medis, tetapi benar. Dia percaya statistik. Dan berharap statistik akan melewatkan mereka kali ini.
“Nomor teleponnya ada di kulkas. Jika ada apa-apa—telepon saja.”
“Apa harus malam ini?”
“Apa maksudmu harus?”
"Apakah kamu harus keluar?"
“Kamu tahu ke mana aku pergi. Apa masalahnya?" katanya sambil mengenakan mantelnya.
Dia tidak tahu pasti akan ke mana. Dan ujung-ujungnya dia nanti akan ke rumah Vladimir; itu satu-satunya yang dia tahu pasti. Vladimir tinggal sendirian dan tidur larut malam.
Istrinya memegangi punggung saat berjalan, mengikutinya hingga di pintu sehingga bisa menguncinya nanti. Perut buncitnya tampak sehat. Di rumah sakit mereka mengatakan bahwa kehamilannya adalah "kehamilan textbook."
Dia mempercayai para dokter dan menyukai perbandingan "textbook" mereka. Dia merapikan kerah mantel suaminya dan berkata:
“Bawakan aku buku. Biar Vladimir saja yang memilihkan. Aku ingin baca cerita menarik. Oke?"
"Oke.” Lelaki itu memeriksa payungnya.
Dia mencium pipi suaminya dan memutar kunci pintu dua kali.
Tangga berbau pesing. Hujan tidak akan berhenti sampai akhir pekan, pikir lelaki itu, dan ia mendongak—langit seperti warna layar TV yang mati.
Dia akan berjalan-jalan dulu menyusuri jalanan kampung, baru kemudian mengambil jalan besar ke rumah Vladimir. Dia tidak harus menghindari genangan air. Dia punya sepatu bot Amerika yang bagus dan kedap air dan kaus kakinya akan tetap kering. Kaus kaki buatan pabriknya ini akan luntur jika basah. Jadi, dia harus menjaganya tetap kering.
Ketika dia berbelok di tikungan, pikirannya tertuju kepada bayinya dan dia mencoba membayangkan seperti apa bayi itu. Tapi dia hanya bisa membayangkan kulit pucat dan lengan yang melambai tak berdaya. Orok yang belum lahir—makhluk tak bernama, pikrinya saat memasuki toko obat-obatan. Dia hendak membeli sebotol wiski untuk Vladimir dan mencoba tidak mabuk malam ini.
"Dua puluh."
Dia membuka dompetnya—hanya ada lima belas.
"Nanti kukembalikan lagi wiskinya,” katanya.
"Harus," kata kasir itu, tangannya menekan tombol mesin kasir.
Jika bayi itu lahir Kamis, itu akan sama dengan ulang tahun pernikahan mereka. Keberuntungan ganda, pikirnya sambil meninggalkan toko. Namun dia masih belum merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya. Mungkin itu awal yang normal. Segalanya akan berubah nanti, pikirnya, saat dia dia melihat bayi itu, saat dia menggendongnya dan memanggil namanya. Dia melihat ke kiri dan kemudian ke kanan, dan kemudian melangkah sepanjang jalan.
Tidak ada keramaian di pusat kota hari itu. Begitu banyak genangan, pikirnya, harusnya dialirkan ke parit. Dia menghindari genangan air terbesar dan memilih trotoar yang terlindung atap. Angin merusakkan dua rusuk payungnya, dan membuka payung itu menjadi tidak praktis. Dia akan minum kopi dulu di bar seberang jalan dan menunggu cuaca agak tenang.
"Wajah anda, Tuan," kata pelayan itu sambil menunjuk wajahnya sendiri.
"Kenapa wajahku?" dia bertanya, bingung.
"Ada darah di wajah anda."
Dia menyentuh hidungnya dan dengan malu melihat darah di jari-jarinya. Sekarang dia tahu—rasa asin logam di mulutnya beberapa menit terakhir.
"Ini karena tekanan darahku," katanya, dan dia mengeluarkan saputangannya.
“Terkadang saya mimisan,” katanya.
Mereka membawakannya serbet kertas. Setumpuk serbet.
Di kamar mandi hanya ada satu bohlam yang menyala. Saat dia membasuh wajah dengan air dingin, ada pria dan wanita sedang berdebat. Mereka tidak mempedulikannya.
“Setidaknya kau bisa bertanya. Aku ayahnya.”
"Kamu babi."
"Itu pembunuhan!"
"Ini urusanku."
"Menurutmu begitu?"
"Tentu saja."
Dia menutup keran dan menyeka tangannya dengan serbet terakhir.
"Kamu pikir anak kita hanya urusanmu!"
“Ya, dia ada di perutku. Paham?"
Pria itu menjawab dengan tangannya; ditamparnya wajah wanita itu keras. Saat dia kembali ke mejanya, dia mendengar tamparan kedua.
Dia menghabiskan kopinya dan menunggu kedua orang itu keluar. Mungkin seharusnya dia melakukan sesuatu tadi. Dia yakin dia tidak akan pernah memukul istrinya. Dia mencintai istrinya dan tahu bahwa memukul istri akan menghancurkan dirinya sendiri.
Langit terus bergemuruh. Setiap ledakan membuat gambar di layar TV bar itu menghilang. Humphrey Bogart dan Ingrid Bergman lenyap diselimuti salju elektronik. Para pelayan menyumpah.
Pria itu keluar lebih dulu, beberapa menit setelahnya si wanita, mengenakan kacamata hitam besar, sibuk membolak-balik seikat kecil uang kertas. Dia melihat mereka satu kali lagi malam itu, bergandeng tangan di bawah payung dan memandangi etalase toko yang penuh dengan TV. Wajah mereka, sekarang memperlihatkan senyum, muncul pada layar di tengah etalase. Sebelum melanjutkan jalan, wanita itu merapikan rambutnya. Pria itu melambai ke kamera di etalase dan mereka berjalan lagi tanpa bicara.
Apartemen Vladimir ada di lantai lima, tepat di tikungan jalan. Vladimir seorang penulis. Dia berusia empat puluh tiga tahun dan menghabiskan umurnya seperti orang tua. Dia bercerai dan memiliki seorang putri. Si kecil Ines tinggal di kota lain bersama ibunya dan datang mengunjunginya sekali sebulan.
Dia mengetuk, dan dari balik pintu terdengar suara "Sebentar!" dan kemudian sambutan ramah “Halo! Masuk.”
Mereka berjabat tangan dan saling menepuk punggung. Vladimir menggamit lengannya dan membawanya ke ruang makan.
"Duduklah. Aku kemari sebentar lagi," katanya.
Dia duduk dan melihat buku-buku yang berserakan di atas meja. Tumpukan buku. Secara naluriah dia ingin menyalakan televisi, tetapi tak ada TV. Vladimir sudah memberikan TV itu kepadanya.
“Saya jauh lebih dikenal sebagai 'pria tanpa TV' daripada sebagai penulis. Mengejutkan, ya?” dia beberapa kali mengatakan itu.
Vladimir sibuk di dapur, terdengar denting gelas.
“Malam yang menyedihkan, Bung,” dia muncul dengan dua gelas dan sebotol wiski.
“Yang terbesar di antara kita sudah tak ada lagi. Penjinak kata-kata. Raja cerita pendek. Penguasa metonimia....”
“Singkat saja. Siapa yang kamu bicarakan?"
“Kamu tidak tahu?”
Vladimir menuangkan wiski dan mengucapkan dengan sungguh-sungguh: “Raymond tidak lagi bersama kita—Carver sudah mati. Oh, dan aku tidak lupa: istri cantikmu tadi menelepon."
"Astaga! Kenapa tidak langsung memberitahuku dari tadi? Kautahu dia hamil tua, kan? Pinjam teleponmu."
Enam.
Dua.
Satu.
Dia memikirkan di sudut kamar ada tempat tidur bayi kuning kecil dengan bed cover cantik. Sudah bertahun-tahun mereka mengincarnya.
Lima.
Delapan.
Empat.
"Ayolah, ayo, ayo, ya Tuhan!" dia menghentak-hentakkan kakinya gelisah. Telepon berdering tujuh kali. Dia khawatir dia terlambat. Mungkin istrinya sudah di rumah sakit atau mungkin masih ada di apartemen, tergeletak di lantai, tidak sadarkan diri.
Tapi kemudian suaranya terdengar, mengantuk: "Halo?"
“Ini kamu?” dia berteriak.
“Tentu saja ini aku. Ada apa?"
"Kamu baik-baik saja? Dan si bayi? Semua baik-baik saja?"
“Semuanya baik-baik saja. Kenapa?"
“Coba bilang itu lagi.”
“Semuanya baik-baik saja, kataku. Ada masalah apa?"
Dia menutupkan tangannya pada corong telepon. Vladimir berdiri menyandar di kusen pintu dengan segelas wiski dan mata ingin tahu.
“Semuanya baik-baik saja. Aku terlalu gugup,” katanya dengan lega dan dia menempelkan lagi gagang telepon ke telinganya. Istrinya bertanya mengapa dia begitu senewen, aneh sekali. Dia tadi menelepon Vladimir untuk untuk menanyakan sebuah buku. Vladimir bilang akan mengirimkan "penulis bagus Amerika yang sudah mati."
"Carver meninggal hari ini?" tanyanya.
"Betul.”
Perempuan itu mengatakan menarik membaca buku ketika kita tahu bahwa penulisnya—jauh di Amerika sana—sedang terbaring di peti matinya yang masih terbuka.
“Dan gelombang kesedihan yang asing dan kuat akan merasukimu dari seberang lautan.”
"Kau tidak ada waktu aku menelepon tadi," kata perempuan itu.
"Aku mampir ke kedai kopi dulu.”
"Kamu kehujanan?”
"Sedikit."
"Oh! Bayinya bergerak. Geli."
"Itu normal. Dia akan segera lahir.”
“Jangan pulang terlalu larut. Aku ingin baca buku itu. Dan kamu sendiri tidak usah terlalu cemas,” katanya riang.
"Aku segera pulang," katanya, dan diraihnya gelas wiski.
Carver ada di sakunya. Sebelum dia pergi, dia minum segelas lagi bersama Vladimir, demi kesehatannya. Ada cara hidup Amerika, ada juga cara mati Amerika, pikirnya. Musim panas menjadi tidak menyenangkan ketika diawali dengan cuaca yang tidak bagus. Hujannya hangat dan membosankan. Istrinya tidak bisa keluar, dan itu sedikit mempengaruhi suasana hatinya. Sejauh ini mereka tidak pernah ribut. Dia pikir mereka berdua akan menjalani rumah tangga yang harmonis dan santai. Sedikit tambahan uang lagi akan menghapus semua kesalahpahaman. Tetapi bagus juga seperti ini, pikirnya, sambil memandang dari jalan ke arah jendela apartemen sewaan mereka. Mereka belum membeli tirai. Tiba-tiba dia merasa menyesal telah meninggalkan istrinya sendirian. Dia tidak akan melakukannya lagi. Setidaknya tidak di malam hari. Istrinya harus santai dan merasa aman. Dia tidak mungkin memberinya Carver malam ini untuk alasan yang sama. Cerita-cerita Carver meresahkan. Mereka memancarkan jenis kecemasan tertentu. Mereka terlalu mirip dengan kehidupan nyata, pikirnya.
Istrinya membukakan pintu, melingkarkan lengan ke pinggangnya, memeluknya. Saat istrinya mencium pipinya, dia merasakan perut buncit perempuan itu menempel di perutnya. Dia tidak yakin dia menyukai persentuhan itu. Dan wajah istrinya basah. Seolah-olah dibanjiri air mata.
Biasanya perempuan itu menonton televisi sebelum tidur, mematikan lampu dan berbaring di sofa. Ruang tamu yang baru dicat putih akan bermandikan kilatan cahaya dari layar TV. Rona merah dan hijau menari-nari pada permukaan benda-benda, pada wajahnya. Pantulan terang dari ledakan film akan berkilauan di matanya. Tabung katoda: dingin dan tak terbendung.
"Kamu bawa buku itu?" istrinya bertanya.
“Aduh, aku lupa. Teleponmu membuatku kalang kabut, ”katanya, sembari pergi ke dapur.
“Aku merasakannya di saku mantelmu. Kenapa bohong?”
"Dengar, ya, aku tidak ingin kamu membaca Carver malam ini."
Perempuan itu menuju koridor untuk mengambil buku itu.
“Dingin dan basah di tepi-tepinya,” kata istrinya.
“Aku khawatir isinya juga begitu. Dingin dan basah,” katanya.
Perempuan itu duduk dan mulai membalik halaman.
"Tolong, taruh di atas meja."
Dia membaca baris pertama.
“Tinggalkan buku itu. Kalian tidak memerlukannya, kamu dan si bayi,” katanya, kali ini semakin keras.
Dia pikir cerita Carver akan berpengaruh buruk. Tapi dia tidak yakin bagaimana caranya. Ada kesamar-samaran yang brilian dan ketidaknyaman yang sulit dia pahami. Dia duduk di samping istrinya, tetapi perempuan itu berbalik.
“Aku akan ke kamar tidur. Aku akan membaca di sana. Selamat malam," istrinya berkata dan bangkit.
Dia juga bangkit.
Dalam keadaan nyaris gelap, satu tangannya berusaha membuka jari-jari istrinya yang tergenggam. Satu tangannya lagi mencengkeram buku itu. Istrinya merasakan Carver hampir terlepas darinya.
"Tidak!" perempuan itu berteriak saat genggamannya terbuka. Hari ini dia akan membaca. Dia akan menamatkan buku sialan ini.
Perempuan itu menyambar satu halaman sampul dan beberapa halaman isi dan menarik tubuhnya ke belakang.
Namun si suami tidak mau melepaskannya. Dia merasa buku itu dipaksa lepas dari tangannya dan dia menariknya kembali kuat-kuat.
Dengan cara seperti inilah masalah diselesaikan.***
Cerita aslinya dalam bahasa Montenegro, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh A.S. Laksana dari versi bahasa Inggris terjemahan Will Firth.
Ognjen Spahić, lahir 1977 di Podgorica, Montenegro, telah menerbitkan dua kumpulan cerita pendek: Sve to (All That, 2001) dan Zimska potraga (Winter Search, 2007). Novelnya Hansenova djeca (Hansen's Children, 2004) membuatnya memenangi Meša Selimovic Prize, 2005, untuk novel baru terbaik dari Kroasia, Serbia, Montenegro dan Bosnia-Herzegovina. Hingga saat ini, Hansenova djeca telah diterbitkan dalam bahasa Prancis, Italia, Slovenia, Rumania, Hongaria, Makedonia, dan Inggris oleh penerbit Inggris Istros Book.