Cerpen
Cerpen
Benar, Tuan, memang sayalah yang menemukan mayatnya. Pagi itu, seperti biasanya, saya pergi menebang kayu cedar jatah harian saya ketika saya temukan mayatnya di sebuah hutan kecil di lembah pegunungan itu. Lokasi persisnya? Sekitar seratus lima puluh meter dari punggung jalan Yamashina, di sebuah hutan bambu dan cedar yang terpencil.
Mayatnya membujur telentang, mengenakan kimono sutra kebiruan dan hiasan kepala gaya Kyoto yang sudah kusut. Sebuah tikaman pedang menembus dada. Daun-daun bambu di sekelilingnya merah ternoda darah. Tidak, darah itu tak mengalir lagi. Saya yakin lukanya sudah mengering. Dan seekor lalat besar hinggap di sana, sama sekali tak terusik oleh langkah kaki saya.
Anda bertanya barangkali saya melihat sebilah pedang atau benda lain yang sejenis?
Tidak, sama sekali tidak, Tuan. Hanya saya temukan seutas tali di akar sebatang pohon cedar di dekatnya. Dan… selain seutas tali, juga saya temukan sebuah sisir rambut. Hanya itu. Sepertinya laki-laki itu melakukan perlawanan sebelum akhirnya tewas, sebab rumput dan daun-daun bambu di sekitarnya tampak bekas terinjak-injak.
"Adakah seekor kuda di dekatnya?"
Tidak, Tuan. Manusia saja sulit masuk ke sana, apalagi kuda.
.
Waktunya? Saya yakin kira-kira tengah hari kemarin, Tuan. Orang yang nahas itu sedang dalam perjalanan dari Sekiyama ke Yamashina. Waktu itu dia sedang berjalan menuju Sekiyama bersama seorang perempuan yang menemaninya di atas punggung kuda, dan sejak itu saya tahu bahwa perempuan itu istrinya. Syalnya menjuntai dari kepala hingga menutupi wajahnya. Yang tampak oleh saya hanyalah warna pakaiannya, sebuah setelan warna bunga bungur. Kudanya berwarna coklat kemerahan dengan bulu tengkuk yang bagus. Tinggi perempuan itu? Oh, sekitar empat kaki lima inci. Karena saya pendeta Budha, saya hanya melihat sedikit detail tubuhnya. Tetapi, laki-laki itu membawa sebilah pedang dan sebuah busur serta anak panah. Dan, seingat saya, dia membawa sekitar dua puluh anak panah yang aneh di wadahnya.
Saya tak menangkap tanda-tanda sedikit pun kalau laki-laki itu akan mengalami nasib nahas. Umur manusia sungguh bagai embun pagi atau kilatan cahaya. Rasanya kata-kata tidaklah cukup untuk menyatakan simpati saya kepada laki-laki itu.
Orang yang saya tangkap? Dia penyamun terkenal bernama Tajomaru. Laki-laki itu sudah terjatuh dari kudanya ketika saya tangkap. Dia berteriak di atas jembatan di Awataguchi. Waktunya? Awal petang kemarin. Sebagai catatan, harus saya katakan bahwa beberapa hari sebelumnya saya sudah berusaha menangkapnya, sayangnya dia bisa lolos. Dia memakai kimono sutra warna biru gelap dan sebilah pedang lurus. Dan, sebagaimana anda ketahui, dia membawa sebuah busur dan sejumlah anak panah. Anda katakan bahwa busur dan anak panah ini sama dengan kepunyaan orang yang tewas itu? Kalau begitu tentu Tajomaru pembunuhnya. Busurnya dibalut lembaran kulit, wadah anak panahnya dipernis hitam, tujuh anak panah dengan bulu elang,--seperti itulah senjata miliknya. Benar, Tuan, seperti yang anda katakan, kudanya berwarna coklat kemerahan dengan bulu tengkuk yang bagus. Di dekat jembatan batu itu saya temukan kuda yang sedang makan rumput di pinggir jalan, dengan tali kekang panjang menjuntai. Tentulah kehendak Tuhan sehingga laki-laki itu terlempar dari kudanya.
Dari semua penyamun yang berkeliaran di Kyoto, Tajomaru yang paling menyengsarakan perempuan-perempuan di kota itu. Di musim gugur lalu seorang perempuan bersuami yang datang ke pegunungan di belakang Pindora, agaknya habis berkunjung ke kuil Toribe, dibunuh bersama seorang gadis. Diduga itu perbuatan Tajomaru. Jika dia membunuh laki-laki itu, tak bisa dibayangkan apa yang dilakukannya kepada istri si korban. Saya mohon Bapak Komisaris yang mulia juga berkenan mempertimbangkan masalah ini.
Benar, Tuan, itu memang mayat suami anak perempuan saya. Dia bukan berasal dari Kyoto. Dia seorang samurai dari kota Kokufu di Provinsi Wakasa. Namanya Kanazawa no Takehiko, dan umurnya dua puluh enam. Dia laki-laki berpembawaan lembut, sehingga saya yakin dia tidak suka membuat marah orang lain.
Anak perempuan saya? Namanya Masago, dan umurnya sembilan belas. Dia anak perempuan yang bergairah, dan menyukai kesenangan, namun saya yakin dia tidak pernah mengenal laki-laki lain selain Takehiko. Berperawakan kecil, berwajah lonjong, kulit wajahnya gelap dengan sebuah tahi lalat di ujung mata kirinya.
Kemarin Takehiko pergi ke Wakasa bersama anak perempuan saya. Nasib buruk apa yang menyeret hidupnya pada kematian mengenaskan seperti itu? Saya ikhlas kehilangan menantu, tetapi cemas terhadap nasib anak perempuan saya. Demi Tuhan, mohon carikan anak perempuan saya sampai ketemu. Saya benci sekali pada si penyamun Tajomaru, atau siapa pun namanya. Bukan hanya menantu lelaki saya, tetapi juga anak perempuan saya… (kata-kata terakhir perempuan itu tenggelam dalam air mata).
Saya membunuh laki-laki itu, bukan istrinya. Ke mana perempuan itu pergi? Saya tak bisa mengatakan. Oh, tunggu sebentar. Penyiksaan tidak akan bisa membuat saya mengakui sesuatu yang tidak saya ketahui. Sekarang persoalan sudah sampai puncaknya, saya tidak ingin menyembunyikan apa pun dari anda.
Selepas tengah hari kemarin saya berpapasan dengan suami-istri itu. Lalu sehembusan angin bertiup, dan menyingkap syal perempuan itu yang terjuntai, sehingga saya bisa melihat wajahnya sekilas. Hanya sekilas, lalu wajahnya tertutup lagi dari pandangan saya. Perempuan itu tampak seperti seorang bodhisatwa. Maka saat itu juga saya putuskan untuk merebutnya, meskipun jika harus membunuh suaminya.
Mengapa? Bagi saya membunuh bukanlah masalah yang besar akibatnya seperti yang mungkin anda bayangkan. Ketika seorang perempuan direbut, bagaimanapun suaminya harus dibunuh. Saya membunuhnya dengan pedang yang ada di pinggang saya. Sayakah satu-satunya yang membunuh orang? Anda tidak menggunakan pedang. Anda membunuh orang dengan kekuasaan anda, dengan uang anda. Terkadang anda membunuh orang dengan dalih demi kebaikan mereka. Benar, memang mereka tidak mengalirkan darah. Mereka sehat-sehat saja, tapi itu toh tidak ada bedanya dengan anda telah membunuh mereka. Mustahil untuk mengatakan siapa penjahat yang lebih besar, anda ataukah saya. (Sebuah senyum mengejek.)
Namun sungguh bagus jika saya dapat merebut seorang perempuan tanpa membunuh suaminya. Karena itu saya memutuskan merebut perempuan itu dan menahan diri sekuatnya agar tidak membunuh laki-laki itu. Tetapi itu mustahil di atas jalan Yamashina. Jadi saya bujuk suami-istri itu masuk ke area pegunungan.
Itu mudah. Saya menjadi kawan perjalanan mereka, dan saya katakan kepada mereka bahwa ada satu gundukan tanah tua di pegunungan sana, dan bahwa saya telah menggalinya dan menemukan beberapa cermin serta pedang. Lalu saya ceritakan kepada mereka bahwa saya telah mengubur benda-benda itu di sebuah hutan kecil di belakang pegunungan itu, dan bahwa saya mau menjualnya dengan harga rendah kepada orang yang ingin memilikinya. Kemudian… anda tahu, mengerikan sekali bukan? Laki-laki itu mulai tergerak oleh cerita saya. Mereka memacu kuda menuju pegunungan itu bersama saya dalam waktu kurang dari setengah jam.
Sesampainya di pinggir hutan kecil itu, saya katakan kepada mereka bahwa barang-barang berharga itu saya pendam di tengah hutan, dan saya minta mereka untuk mendekat dan melihat. Laki-laki itu tak keberatan–dia dibutakan oleh ketamakan. Perempuan itu mengatakan akan menunggu di atas punggung kuda. Wajar saja jika perempuan itu berkata demikian ketika melihat hutan lebat. Saya katakan sejujurnya, rencana saya berjalan sebagaimana diharapkan, sehingga hanya kami berdua yang masuk ke dalam hutan kecil itu, meninggalkan perempuan itu sendiri.
Hutan kecil itu sebagian hanya dirimbuni bambu. Sekitar lima puluh yard di depannya terdapat rumpun pohon cedar di bagian yang agak terbuka. Itu tempat yang aman untuk tujuan saya. Sambil terus berjalan memasuki hutan itu, saya membuat cerita bohong yang masuk akal bahwa benda-benda itu saya tanam di bawah pohon cedar. Ketika saya ceritakan itu kepadanya, dia mempercepat jalannya ke arah pohon cedar ramping yang tampak di hutan itu. Beberapa saat kemudian pohon-pohon bambu tampak semakin jarang, dan kami mengarah ke tempat sejumlah pohon cedar tumbuh berjajar. Segera setelah kami sampai di sana, saya menyergapnya dari belakang. Dia sangat kuat sebab dia seorang pendekar pedang yang terlatih, namun dia sangat terkejut, sehingga tak berdaya. Saya segera mengikatkan tubuhnya pada akar sebatang pohon cedar. Di mana saya mendapatkan tali? Sebagai penyamun saya selalu membawa tali, karena sewaktu-waktu saya mungkin harus memanjat tembok. Tentu saja sangat mudah untuk membuatnya tak bisa teriak; saya menyumpal mulutnya dengan daun-daun bambu yang rontok.
Setelah melumpuhkan laki-laki itu, saya mendatangi istrinya dan memintanya masuk ke hutan melihat suaminya, sebab suaminya tiba-tiba jatuh sakit. Tak perlu dikatakan bahwa rencana ini juga berjalan sangat baik. Perempuan itu kemudian melepas topi anyamnya dan saya gandeng tangannya berjalan ke tengah hutan itu. Begitu melihat suaminya, dia langsung menghunus sebilah pedang kecil. Saya belum pernah melihat seorang perempuan yang demikian kalap. Jika tidak waspada, pinggang saya pasti sudah tertikam. Saya menghindar, namun dia terus menyerang. Serangannya benar-benar bisa melukai atau membunuh saya. Tetapi saya adalah Tajomaru. Saya pukul jatuh pedang kecilnya tanpa harus mencabut pedang saya sendiri. Perempuan paling garang itu pun menjadi tak berdaya tanpa senjata. Akhirnya saya dapat memuaskan nafsu saya padanya tanpa membunuh suaminya.
Sungguh… tanpa membunuh suaminya. Saya tak punya keinginan membunuh laki-laki itu. Saya hampir kabur, meninggalkan perempuan yang menangis itu, ketika dia dalam keadaan putus asa mencengkeram tangan saya sepenuh tenaga. Dalam kalimat tersendat-sendat, dia minta agar suaminya atau saya–salah satu harus mati. Dia berkata lebih baik mati daripada aibnya diketahui oleh dua lelaki. Dengan suara terengah-engah dia mengatakan mau menjadi istri dari salah seorang yang masih hidup. Kemudian nafsu untuk membunuh laki-laki itu menguasai saya. (Keriuhan yang muram.)
Dengan bercerita kepada anda seperti ini, tentunya saya tampak lebih keji dibandingkan anda. Tetapi itu karena anda tidak melihat wajah perempuan itu, terutama matanya yang hangat saat itu. Ketika mata saya bertatapan dengan matanya, timbul hasrat untuk menjadikannya istri saya meskipun seandainya petir akan menyambar saya. Saya begitu berhasrat untuk membuat dia menjadi istri saya… inilah satu-satunya hasrat yang memenuhi pikiran saya. Ini bukan sekadar birahi, sebagaimana yang mungkin anda bayangkan. Saat itu, jika saya tak punya hasrat lain selain birahi, tentunya saya tak segan-segan memukul jatuh perempuan itu dan kabur. Dengan begitu saya tak menodai pedang saya dengan darah laki-laki itu. Tetapi saat saya memandang wajah perempuan itu di hutan yang gelap, saya putuskan untuk tidak keluar dari sana tanpa membunuh laki-laki itu.
Tetapi saya tidak suka menggunakan cara yang tak adil dalam membunuhnya. Saya lepaskan ikatannya dan saya minta dia bertarung pedang dengan saya. (Tali yang ditemukan di akar cedar adalah tali yang saya jatuhkan saat itu.) Terbakar oleh kemarahan, laki-laki itu menghunus pedang tebalnya. Dan secepat kilat dia merangsek ke arah saya dengan beringas, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tak perlu saya ceritakan kepada anda bagaimana akhir dari perkelahian kami. Pukulan kedua puluh tiga… mohon diingat. Saya masih terkesan pada kenyataan itu. Belum pernah ada satu orang pun di dunia ini yang terlibat pertarungan pedang dengan saya hingga dua puluh pukulan. (Sebuah senyum puas.)
Ketika dia tumbang, saya membalikkan badan ke arah perempuan itu, menurunkan pedang saya yang bernoda darah. Namun betapa terkejutnya saya, perempuan itu telah menghilang. Saya mencari-cari ke mana kiranya dia melarikan diri. Saya mencarinya ke dalam rumpun pohon cedar. Saya memusatkan pendengaran, namun yang terdengar hanyalah erangan dari tenggorokan orang yang sedang sekarat.
Begitu kami memulai pertarungan pedang, mungkin perempuan itu kabur menembus hutan untuk mencari pertolongan. Ketika sampai pada pikiran itu, saya putuskan bahwa ini adalah persoalan hidup dan mati bagi saya. Karenanya, saya merampas pedang, busur, dan anak panah laki-laki itu, dan kabur menuju jalan pegunungan. Di sana saya menemukan kuda perempuan itu sedang makan rumput dengan tenang. Takk ada gunanya menceritakan detail perjalanan itu, namun, sebelum saya memasuki kota, pedang itu sudah saya jual. Hanya itulah pengakuan saya. Saya tahu bahwa kepala saya toh akan digantung dengan rantai. Karenanya putuskanlah hukuman terberat kepada saya. (Sebuah sikap menantang.)
Laki-laki yang memakai kimono sutra biru, setelah memaksa saya menyerahkan diri kepadanya, tertawa mengejek saat dia melihat suami saya yang teriikat. Suami saya tentu sangat takut waktu itu! Namun semakin kuat dia berusaha melepaskan diri, justru semakin kuat tali itu menjeratnya. Tanpa sadar saya berlari terhuyung-huyung ke arah suami saya. Atau tepatnya berusaha lari ke arahnya, tetapi laki-laki itu memukul saya hingga jatuh. Persis pada saat saya terjatuh itulah saya melihat pada mata suami saya kesan yang tak bisa digambarkan. Sesuatu yang tak bisa diungkapkan… matanya membuat saya merasa ngeri sampai sekarang. Tatapan sekilas dari mata suami saya itu, yang tak dapat bicara sepatah kata pun, menyatakan seluruh perasaannya kepada saya. Kilatan di matanya tidak menunjukkan kemarahan ataupun kesedihan… hanya sorot dingin, pandangan jijik. Pandangan matanya lebih menyakitkan dibanding pukulan penyamun itu, sehingga tanpa sadar saya berteriak dan jatuh pingsan.
Beberapa waktu kemudian saya siuman, dan laki-laki dengan pakaian sutra biru itu sudah raib. Saya hanya melihat suami saya yang masih terikat di akar pohon cedar. Saya bangkit dari daun-daun bambu dengan susah payah dan memandangi wajah suami saya, tetapi tatapan matanya masih tetap sama seperti sebelumnya.
Di dasar sorot mata yang dingin merendahkan itu ada kebencian. Malu, sedih, dan marah… Saya tak tahu bagaimana mengungkapkan perasaan saya saat itu. Dengan terhuyung-huyung saya berjalan mendekati suami saya.
"Takehiko," saya berkata kepadanya, "karena segalanya sudah terjadi, saya tak bisa hidup bersamamu lagi. Saya sudah memutuskan untuk mati… tetapi kau pun harus mati. Kau mengetahui aibku. Aku tak dapat membiarkanmu hidup karena itu."
Hanya itu yang bisa saya katakan. Dia masih tetap memandang saya dengan jijik dan merendahkan. Dengan jantung berdegup keras, saya mencari pedangnya. Pastilah pedangnya telah dibawa penyamun itu. Tak satu pun dari pedang maupun busur dan anak panahnya kelihatan di hutan itu. Tapi untunglah pedang kecil saya tergeletak di kaki saya. Sambil mengangkatnya di atas kepala, saya berkata sekali lagi, "Sekarang serahkanlah nyawamu kepadaku. Aku akan menyusul segera."
Ketika mendengar kata-kata itu, dia sulit menggerakkan bibirnya. Karena mulutnya dijejali daun-daunan, tentu suaranya tidak terdengar sama sekali. Tetapi sekilas saya memahami kata-katanya. Sambil memandang hina diri saya, pandangannya seperti mengatakan, "Bunuhlah saya." Antara sadar dan tidak, saya menikamkan pedang kecil itu menembus kimono warna ungu lilac ke dalam dadanya.
Saya yakin saat itu saya pingsan lagi. Ketika kemudian saya berusaha melihatnya, dia telah menghembuskan nafas terakhir–masih dalam ikatan. Seberkas cahaya matahari yang mulai tenggelam menerobos rumpun cedar dan bambu, dan jatuh pada wajahnya yang pucat. Sambil menahan Isak, saya melepaskan tali dari tubuhnya yang sudah tak bernyawa. Dan … dan entah apa yang terjadi pada diri saya; saya tak mampu lagi menceritakan kepada anda. Yang pasti saya tak punya kekuatan untuk mati. Saya menikam tenggorokan saya sendiri dengan pedang kecil itu, saya melemparkan diri ke dalam kolam di kaki pegunungan itu, dan saya mencoba bunuh diri dengan beberapa cara. Karena tak mampu mengakhiri hidup saya sendiri, saya masih hidup di dalam aib. (Sebuah senyum sunyi.) Sebagai orang yang tak berharga seperti diri saya sekarang, tentulah saya tak dipedulikan bahkan oleh Kwannon yang paling murah hati. Saya membunuh suami saya sendiri. Saya telah diperkosa oleh penyamun itu. Apa yang bisa saya lakukan? Apa yang bisa saya… saya… (Isaknya semakin keras.)
Setelah memperkosa istri saya, penyamun itu duduk di sana dan mulai merayunya. Tentu saja saya tak dapat bicara. Seluruh tubuh saya diikat kuat ke akar pohon cedar. Tetapi saat itu saya mengedipkan mata ke arah istri saya beberapa kali, sebanyak kata untuk mengucapkan, "Jangan percaya pada penyamun itu." Saya ingin menyampaikan beberapa pesan semacam itu. Tetapi istri saya, yang bersimpuh murung di atas daun-daun bambu, menatap lekat ke pangkuannya sendiri. Sikapnya memberi kesan bahwa ia sedang mendengarkan perkataan laki-laki itu. Saya didera cemburu. Sementara laki-laki penyamun itu terus saja bicara dengan lihai, dari satu pembicaraan ke pembicaraan yang lain. Akhirnya penyamun itu membuat tawaran yang berani dan lancang. "Sekali kehormatanmu ternoda, hubungan dengan suamimu tak akan baik selamanya, karena itu tidakkah kau bersedia menjadi istriku? Cintaku padamu itulah yang mendorongku memperkosamu."
Ketika penjahat itu bicara, istri saya mengangkat wajah seakan kepayang. Dia belum pernah tampak secantik saat itu. Apa yang dikatakan oleh istri saya yang cantik dalam menjawab tawaran laki-laki itu saat saya duduk terbelenggu di sana? Sekarang saya tidak lagi hidup di dunia ini, tetapi saya selalu dibakar marah dan cemburu tiap kali ingat jawaban istri saya…, "kalau begitu bawalah aku bersamamu ke mana pun kau pergi."
Memang itu bukan sepenuhnya dosa istri saya. Jika semua itu dosanya, tentu saya tak mengalami siksaan berat di kegelapan. Ketika perempuan itu meninggalkan hutan seperti dalam mimpi, dengan tangannya di genggaman penyamun itu, tiba-tiba dia memucat dan menunjuk ke arah saya yang terbelenggu pada akar pohon cedar seraya berkata, "Bunuh dia! Aku tak bisa kawin denganmu selama dia hidup."
"Bunuh dia!" teriaknya berkali-kali, seakan menjadi gila. Sekarang pun kata-kata itu bisa membuat saya terpelanting ke dalam ngarai kegelapan tanpa dasar. Pernahkah kata-kata semacam itu keluar dari mulut manusia sebelumnya? Pernahkah kutukan semacam itu terdengar di telinga manusia, meski sekali saja? Meski sekali saja… (Sebuah teriakan mencemooh tiba-tiba terdengar.) Mendengar kata-kata perempuan itu, si penyamun sendiri pun menjadi pucat. "Bunuh dia!" teriaknya sembari mencengkram tangan laki-laki itu. Menatap tajam pada perempuan itu, si penyamun tidak menjawab ya ataupun tidak… namun jawaban laki-laki itu belum sempat terpikir oleh saya sampai istri saya dijatuhkan di atas daun-daun bambu. (Sebuah teriakan mencemooh terdengar lagi.) Sambil menyilangkan tangan dengan tenang, laki-laki itu memandang saya dan berkata, "Apa yang akan kau lakukan terhadap perempuan itu? Membunuhnya atau menyelamatkannya? Kau hanya perlu mengangguk. Membunuhnya?" Hanya untuk kata-kata itulah saya bersedia memaafkan kejahatannya.
Ketika saya ragu-ragu, istri saya menjerit dan berlari ke tengah hutan. Penyamun itu berusaha menangkapnya dengan cepat tetapi gagal bahkan untuk merenggut lengan bajunya.
Setelah istri saya melarikan diri, laki-laki itu mengambil pedang, busur, dan anak panah saya. Dengan satu sabetan dia memotong salah satu ikatan saya. Saya ingat dia menggumam, "Nasibku ditentukan nanti." Kemudian dia kabur dari hutan. Semuanya sunyi setelah itu. Tidak, saya mendengar seseorang menangis. Sambil membuka sisa ikatan di tubuh, saya dengarkan dengan saksama, dan saya perhatikan ternyata itu adalah tangisan saya sendiri. (Diam lama.)
Saya bangkit dari akar pohon cedar itu dengan tubuh yang sudah kehabisan tenaga. Di depan saya berkilau pedang kecil yang dijatuhkan istri saya. Saya mengangkat pedang itu dan menikamkan ke dada saya sendiri. Sejumput darah mengalir ke mulut saya, tapi saya tak merasakan sakit sedikit pun. Ketika dada saya semakin dingin, semuanya diam seperti mayat-mayat di kuburan mereka. Dunia begitu sunyi. Tak terdengar satu kicau burung pun di atas kuburan di lembah pegunungan itu. Cahaya kian redup, sampai akhirnya pohon-pohon cedar dan bambu lenyap dari pandangan. Saya terkapar di sana dalam selubung kesunyian.
Kemudian seseorang bergerak pelan ke arah saya. Saya berusaha melihat siapa dia. Tetapi kegelapan telah menyelimuti sekeliling saya. Seseorang… seseorang itu kemudian mencabut pelan-pelan pedang kecil itu dari dada saya dengan tangannya yang tak terlihat. Bersamaan dengan itu, sekali lagi darah mengalir ke dalam mulut saya. Sejak saat itu dan untuk selamanya saya tenggelam ke dalam ruang kegelapan. [*]
* Penerjemah: Suparno
Ryunosuke Akutagawa lahir di Tokyo, 1 Maret 1892. Ia dinilai setara dengan penulis Perancis Gustave Flaubert, pengarang Madame Bovary. Setelah menamatkan sekolah menengah pada 1913, ia mempelajari Sastra Inggris di Universitas Kerajaan, Tokyo, dan lulus pada 1916. Tesisnya berupa telaah tentang William Morris. Pada 1916 ia menerbitkan tiga cerita pendek--Hidung, Bubur, dan Saputangan--yang memberinya ketenaran. Pada 1919, ia menerbitkan kumpulan cerpennya yang paling terkemuka Dalang Boneka.
Seusai Perang Dunia I, ketika banyak penulis terpesona kepada naturalisme seks dan politik, Akutagawa menempuh jalan berbeda: Ia kembali ke mistisisme foklor tradisional dan legenda-legenda tua. Salah satu cerpennya Rashomon difilmkan oleh Akira Kurosawa.